Saturday, February 10, 2018

Menjadi Pembicara Pengganti


Pernah mengalami jadi pembicara pengganti di acara besar? Pesertanya ratusan?

Saya sering mengalaminya, bahkan 15 menit sebelum acara baru dihubungi!

Apa yang pertama saya rasakan saat menerima permintaan terebut?

Yups! Bagaimana stressnya panitia dalam situasi seperti itu! Juga, bagaimana beban perasaan pembicara yang digantikan. Keduanya pernah saya alami.

Saya pernah menjadi panitia acara, paham bagaimana jantung berdegup kencang, jika pembicara belum terlihat, padahal sudah waktunya acara dibuka. Atau, saat dua hari sebelum hari H, ada pembatalan dari pembicara karena sebab yang benar-benar tidak bisa ditawar.

Itu sebabnya saya sangat mengusahakan untuk menyanggupi, kalau memang tidak ada agenda yang sudah disanggupi sebelumnya. Kalau masalah persiapan, sebisa mungkin memanfaatkan waktu yang ada, karena tidak ada jaminan, lamanya persiapan membuat penampilan menjadi lebih baik.

Memang, beberapa pembicara benar-benar tidak mau menerima tugas seperti itu, menjadi pembicara secara mendadak, tidak ada waktu untuk menyiapkan materi.

Kalau tidak salah, saya mulai menjadi "pembicara" di tahun 1987, saat menjadi mentor di kegiatan rohis kampus. Benar, hanya di hadapan sekitar 10 sampai dengan 15 orang, tapi dari sisi mental tetap saja butuh kemampuan untuk bisa menguasai forum yang isinya orang-orang yang hampir seusia.

Di tahun yang sama, saya juga mulai mengajar di tingkat SLTP dan SLTA, di luar jam kuliah. Walaupun ada teman yang sudah jadi guru berpuluh tahun, tetap menolak saat diminta jadi MC di arisan RT, alasannya nggak pede, tapi saya anggap, pengalaman bicara di depan banyak orang butuh dilakukan berulang-ulang untuk meningkatkan rasa percaya diri.

Pengalaman pertama yang begitu berkesan sebagai pembicara pengganti, saat diminta menggantikan seorang ustadzah kondang di sebuah tabligh akbar. Saat itu saya sedang ada di lokasi lomba memasak, hanya sebagai peninjau. Seorang teman menelpon suami, karena beliau yang punya hp, mengatakan kalau saya diminta menggantikan pembicara tabligh akbar yang waktunya 15 menit lagi, peserta sudah memenuhi masjid, jumlahnya ratusan. Lah, lokasi sekitar 10 sd 15 menit dengan mengendarai motor.

Saya duduk di boncengan motor, bengong, seperti belum menyadari situasi.

"Mau ngomong apa, ya?" agak keras saya bertanya pada suami.

"Kan sudah puluhan tahun membaca, lebih dari seribu buku yang sudah dibaca, tinggal mengeluarkan dari kepala."

Laaah! Enak tenan jawabnya! Kan nggak grogi bisa menghambat kelancaran berfikir? Bahkan, bisa lupa semua yang sudah disiapkan, lha ini? Jangankan menyiapkan materi, ups! Pakaian? Mana sempat memikirkan ganti pakaian? Sampai lokasi langsung dituntun panitia ke mimbar!

Untunglah sebelumnya panitia memberi kebebasan materi yang akan disampaikan, intinya berkaitan dengan peringatan hari ibu. Alhamdulillah, entah bagaimana perasan peserta, tapi panitia sangat berterimakasih karena terselamatkan.

Hal seperti itu sering terulang, dengan jeda waktu yang bervariasi, intinya menjadi pembicara pengganti, bahkan pembicara di radio. Tapi saya yakin, walaupun tidak sekualitas, setidaknya banyak pertimbangan yang dipakai untuk menjatuhkan pilihan. Seperti, saat meminta saya jadi pembicara di radio, tentu atas latar belakang, saya pernah beberapa tahun menjadi narsum tetap di sebuah radio dakwah.


Untuk kesekian kalinya, kemarin terulang lagi. Malam hari, saat isya, seorang teman meminta saya melalui wa, untuk menggantikan Ustadz Ahmad Jajuli, yang berhalangan hadir, mengisi parenting di Sekolah Ibu.

Nah! Ustadz Jajuli calon wagub? Tapi materinya parenting, bukan politik, he he he.

Saya sanggupi, karena memang sedang tidak ada agenda lain. Materinya pun, insyaallah pernah sedikit saya singgung di sebuah forum parenting. Tapi saya tidak membuat power point, karena banyak tugas yang sedang saya kerjakan, dan saya fikir, tabligh akbar biasanya tidak menggunakan media. Ternyata...kali ini saya keliru dalam berasumsi. Sampai di lokasi, ketua panitia sedang memberi sambutan dan terlihat ada proyektor sedang dioperasikan panitia.

Di perjalanan, asisten Ustadz Jajuli meminta saya untuk mengkondisikan peserta, dan saya menangkapnya sebagai sebuah upaya untuk menetralisir supaya peserta tidak kecewa. Oke, itu juga yang saya harapkan, peserta bisa menerima saya dengan terbuka dan sepenuh hati.

Di awal saya menyampaikan beberapa hal, terutama masalah meluruskan niat, dan mengupayakan supaya kami berada di satu gelombang, supaya komunikasi lancar dan pesan tersampaikan dengan baik.


Alhamdulillah, semoga tidak mengecewakan, walaupun yang memberi materi hanya pembicara pengganti.

No comments:

Post a Comment