Thursday, February 15, 2018

Bunda, Cinta 2 Kodi, Dimana Menariknya?


Kamis, pagi. Sulis chatt WA.

"Mbak Neny, nonton yok!"

"Bunda?"

"Iya, mau nggak?"

"Mau."

"Ok, saya booking tiketnya."

***

Bunda, Cinta 2 Kodi. Film  yang diangkat dari novel karya Asma Nadia, yang belakangan sedang dipromosikan untuk didukung agar eksis tayang di bioskop, karena katanya bagus.

Saya suka nonton, seperti juga sangat suka membaca sejak kecil, hanya saja bukan tipe yang keranjingan, apalagi nonton di bioskop. Seumur hidup, mungkin tidak lebih dari hitungan jari tangan, saya nonton di bioskop. Maka tidak heran kalau anak-anak langsung cie cie kalau tau saya nonton.

Sengaja saya tidak memberi tahu kemana pergi, hanya pada suami. Anak-anakpun tak banyak bertanya, karena biasanya kalau saya pergi tidak jauh-jauh dari urusan pengajian, seminar, rapat atau peliputan sebagai bloger. Selain itu juga karena nontonnya ditraktir. Ini juga karena ada acara nonton bareng yang diselenggarakan Nibras cabang Lampung. Pesertanya dominan agen dan reselernya, ditambah teman-teman yang tergabung di komunitas saudagar.

Duh! Saya kok nggak bisa menikmati seperti yang direview teman-teman yang sudah nonton, ya?

"Kok malah main hp?" tanya Sulis.

"Kelamaan nunggu adegan berikutnya, bisa kok nonton nyambi WA an," jawab saya, santai.

Weeh, ini nonton di bioskop, lho, nggak harus tertib nyimak seperti di ruang kuliah, kan?

Aih! Mungkin memang sudah bukan konsumsi usia lolita, yang tak lagi berbunga-bunga dengan adegan romantis atau berurai airmata dengan adegan yang mengaduk-aduk perasaan. Tapi kalau saya ingat-ingat, untuk film memang saya lebih suka yang berbau petualangan, detektif, politik, sejarah atau psikologi. Nah, seru lagi yang banyak adegan laga.

Untuk film Bunda, Cinta 2 Kodi, memang pas banget untuk perempuan-perempuan kekinian yang banyak berkecimpung di dunia bisnis.

Dalam film ini, penonton bisa melihat sosok Tika yang cerdas, gigih dan tidak gampang menyerah. Juga diingatkan bahayanya seorang ibu yang tenggelam dalam kesibukan bisnisnya, karena itu adalah ujian untuk keluarga. Saya paham banget, karena pernah mengalaminya.

Dalam sebuah proses, kadang manusia lupa dengan tujuan awal sebelum melangkah. Di awal, semangat yang mendominasi adalah untuk mencukupi kebutuhan hidup, membahagiakan keluarga, masa depan anak, dan lain-lain, tetapi di tengah perjalanan, manusia lebih menikmati proses. Tenggelam dalam kesibukan kerja dan melupakan hal-hal apa yang membahagiakan keluarga, terutama anak-anak, yang awalnya menjadi energi motivasi untuk berusaha.

Suami yang bisa memahami dan mengimbangi tapi tetap berwibawa dengan kepemimpinannya sangat dibutuhkan untuk mendampingi perempuan tipe seperti ini.

Nah, herannya, apakah memang film yang menarik itu harus ada kisah perempuan lain? Bahkan ini ada di awal-awal cerita. Eh! Mungkin karena film ini diangkat dari kisah nyata, dan memang ada unsur itu, atau karena saya jarang nonton film sejenis?

Yang saya suka, pemain utamanya terlihat sudah senior banget, jadi tidak mengganggu jalannya cerita. Kalau figuran sih,bisa dimaklumi.

Menurut saya, bagus tidaknya sebuah film, selain karena isi cerita dan penggarapannya, juga tergantung target penonton. Sebagus apapun sebuah film, kalau ditonton oleh orang yang seleranya bukan jenis film itu, biasanya nontonnya dengan perasaan datar. Sulit mengharapkan penilaiannya yang antusias dan menggebu-gebu dalam mengapresiasi.

Tak ada peristiwa yang terlewat tanpa nilai yang bisa diambil, karena di situlah tempat belajar manusia yang sebenarnya.

***
"Umi dari mana, sih?"

"MBK."

"Ngapain, Mi?"

"Nonton."

"Haaaaaa?"

"cie...cieeeeh."

No comments:

Post a Comment